Ganti Judul dan ALt sendiri

Bang Nunu, Kisah Seorang Relawan Covid-19 (bagian 2)

Hai, Happymoms!

Masih menantikan kelanjutan kisah Bang Nunu saat menjadi relawan Covid-19? Seorang pembaca kisah ini di bagian pertama kemarin menyampaikan komentarnya bahwa sepertinya saat ini kita sudah mulai melupakan hikmah atas pandemi kemarin. Pada saat itu kita dipaksa untuk bertahan, kuat, sabar, pasrah dan menggantungkan hidup hanya kepada Allah saja.  Kita senantiasa berdoa sepanjang waktu agar diberikan kesehatan dan keselamatan. 

Begitulah manusia ya, Moms. Seringkali harus "dicolek" dengan musibah atau cobaan agar kembali ingat kepada Sang Mahakuasa. Kita dipaksa mendekat kepada Allah SWT. 

Memang benarlah adanya, bahwa salah satu pengingat dan nasihat yang kuat adalah kematian. Terlebih jika itu terjadi pada orang-orang terdekat kita. Kita seakan terhenyak, dipaksa mengingat bahwa kita pun akan mengalami hal yang sama. Karena kematian adalah sebuah kepastian. 

Bagaimana kelanjutan perjalanan Bang Nunu? Apa hikmah yang bisa kita ambil kali ini? Yuk, kita simak bagian kedua dari serial Bang Nunu, kisah seorang relawan Covid-19 berikut ini! 

***

Bang Nunu Kisah Seorang Relawan Covid-19

Prolog

Sejak wabah Covid-19 melanda, Bang Nunu bersama beberapa temannya bergabung dengan tim relawan di sebuah rumah sakit. Tugas mereka adalah stand by, siap setiap saat untuk memakamkan para pasien isolasi dengan prosedur khusus. Mereka harus bekerja dengan sigap, cepat, teliti dan hati-hati demi keamanan semua orang. Keluarga korban, orang-orang di lingkungan korban dan juga keamanan diri mereka sendiri. 


***

Nasihat itu adalah Kematian (seri 4)


Bang Nunu baru saja sampai di rumah setelah menyelesaikan tugasnya. Meski dia sudah mandi dan rapi, tapi wajahnya masih tampak kuyu.

"Capek banget ya, Bang?" tanyaku sambil mengangsurkan secangkir kopi.

"Biasa saja, Neng. Hanya sedang sangat tersentuh saja hari ini," jawabnya lemah.

"Ada apa memangnya, Bang?" Aku duduk di dekatnya agar bisa menyimak kisahnya kali ini dengan seksama.

"Sungguh kematian adalah sebaik-baiknya nasihat. Kematian tidak hanya menghampiri orang-orang yang telah lansia namun juga bayi belia.

Hari ini kami baru saja memakamkan bayi berusia 2,5 bulan. Aku sempat menyentuh jenasahnya untuk memasukkannya ke dalam peti. Aku tak lagi mampu menahan air mata, Neng.

Sama seperti saat kami memakamkan Pak Burhan kemarin. Kematian orang baik itu selalu meninggalkan kesedihan tersendiri. Tidak hanya sebagai cermin seberapa baik amalan kita untuk bekal berpulang, tapi juga mengingatkan kita pada inilah tanda akhir jaman"

"Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun."

Ya Allah, rasanya ada nyeri yang tiba-tiba hadir di sudut hatiku. Bayi sekecil itu pun menjadi korban wabah ini. Jika kedua orang tuanya sehat, lalu dari mana dia terpapar. Aah, entahlah!

Wabah ini telah merenggut banyak nyawa. Tak peduli siapa. Dan benar adanya, kita harus bisa mengambil ibrahnya. Akhir seperti apa yang kita inginkan? Sebanyak apa amal yang sudah kita punya? Apa yang akan orang kenang setelah kepergian kita?

"Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan Kami akan menguji kamu dengan keburukan serta kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu akan dikembalikan." – (Q.S Al-Anbiya: 35)

***

"Neng, Abang keluar sebentar ya," Bang Nunu tampak sudah siap untuk menyalakan motornya.

"Ada panggilan lagi, Bang?" Meski sudah terjadi hampir setiap hari, tapi tetap saja hatiku pilu setiap kali mendengar berita kematian seorang pasien wabah.

"Enggak. Mau cari alat buat benerin sepeda aja."

"Lho katanya tadi ada korban lagi?"

"Ada tim lain yang berangkat. Alhamdulillah, sudah ada tambahan tim jadi kami bisa bergilir tugas. Jangan terlalu sering memakamkan juga, Neng. Takutnya bisa mematikan hati."

Bang Nunu pun berlalu setelah mengucapkan salam. Tapi aku masih menekuri kata-katanya. Bisa jadi benar. Jika kita mengalami sesuatu yang berulang, kita akan menganggapnya jadi biasa. Lalu hilanglah rasa. Jangan sampai kematian yang begitu dekat membuat kita justru tak ingat akan akhirat.

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yaitu kematian) karena jika seseorang mengingatnya saat kehidupannya sempit, maka ia akan merasa lapang dan jika seseorang mengingatnya saat kehiupannya lapang, maka ia tidak akan tertipu dengan dunia (sehingga lalai akan akhirat).”-(HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi, dinyatakan hasan oleh Syaikh Al Albani).

Bang Nunu Kisah Seorang Relawan Covid-19

***

Penggugur Kewajiban (seri 5)


Aku baru saja selesai membaca Cabang Iman ke 64, tentang kewajiban menshalatkan mayit seorang muslim, dalam sebuah kajian online di sebuah WhatsApp group.

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda,
"Hak seorang Muslim terhadap Muslim lainnya ada lima, menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenasah, memenuhi undangan, dan mendoakan yang bersin" (HR. Al-Bukhari-Muslim).
Lantas memoriku kembali berputar pada percakapanku dengan Bang Nunu beberapa waktu lalu. Awal tim relawan menjalankan tugasnya.

Tim relawan hanya menjalankan tugas sesuai prosedur yang disampaikan dari Tim Forensik Rumah Sakit. Yaitu memakamkan jenazah saja. Menurunkan peti dari ambulan dan memasukkannya ke liang lahat.

Seperti imbauan, para keluarga dan masyarakat memang tidak diperkenankan untuk mendekat dan berada di sekitar lokasi tanpa alat pelindung diri. Biasanya hanya ada satu atau dua orang keluarga yang membantu pemakaman.

"Silahkan, Pak didoakan," kata Bang Nunu kepada pihak keluarga.

"Tapi, Pak Modinnya gak mau mendekat, Mas. Itu sudah pergi malahan." Jawaban itu membuat Bang Nunu nelangsa. Akhirnya dia beranikan diri memimpin doa.

"Aku sudah sering mengantarkan jenasah, Neng. Tapi baru kali itu aku sendiri yang harus memimpin doa untuk sang mayit," kata Bang Nunu kala itu.

Ya Allah, aku pun jadi trenyuh. Kekhawatiran itu memang bisa dipahami, namun memenuhi hak saudara kita adalah juga sebuah kewajiban. Jika dilakukan dalam jarak aman, insya Allah tak akan mengapa. Toh, peti maupun para relawan sudah mendapatkan semprotan desinfektan.

"Sejak saat itu aku membagi personal khusus yang bertugas memimpin shalat dan doa, di setiap tim. Aku pastikan bahwa setiap jenasah muslim harus dishalatkan terlebih dahulu. Karena itu adalah kewajiban kita kepada sesama muslim," lanjut Bang Nunu.

Ya Allah, mengiris hati memang kondisi saat ini. Jika biasanya para sanak saudara, handai taulan, sahabat dan teman sejawat, semua mengantarkan sang mayit ke pemakaman. Ramai yang menshalatkan dan mendoakan. Kini, semua itu hanya dilakukan oleh segelintir orang yang tak dikenal, tak genap sepuluh bahkan. Semoga itu tak mengurangi kemuliaannya di mata manusia juga di hadapan Allah.

***

Aku masih ngobrol dengan Bang Nunu, selepas dia pulang dari tugasnya. Tengah malam kala itu. Sesekali dia mengecek kembali layar telepon genggamnya.

"Ya Allah, kasian benar ini," komentarnya tiba-tiba.

"Ada apa, Bang?" cepat aku menanggapi.

"Ini tadi kami kan bersegera kembali setelah menyelesaikan pemakaman, tanah baru ditutup sekadarnya dan kami pamit karena sudah malam. Ternyata hanya adik si mayit saja, seorang diri, yang meneruskan pemakaman. Merapikan tanah dan membereskannya. Gak ada satu warga pun yang membantunya," lanjutnya.

"Ya Allah…, dilematis memang ya, Bang. Di satu sisi ya kasian, di sisi lain ya paham juga bagaimana kekhawatiran warga."

"Tapi baiknya memang masyarakat mendapatkan edukasi lebih lanjut. Bahwa tidak perlu terlalu takut dan berlebihan dalam bersikap terhadap korban, pasien, dan keluarganya. Seperti adanya penolakan warga kepada jenazah korban untuk di makamkan di pemakaman desa, itu kan berlebihan sekali. Padahal semua sudah diantisipasi. Proses pemulasaraan jenazah sudah dilakukan dengan standard khusus."

Aku paham yang disampaikan Bang Nunu. Sangat-sangat menyedihkan memang, saat membaca berita tentang penolakan tersebut. Tapi begitulah kondisinya saat ini.

Masih bersyukur ada sebagian orang yang bersedia mengambil kewajiban tersebut, agar gugurlah kewajiban seluruh muslim untuk menshalatkan dan mengantarkan jenazah korban wabah ke peristirahatan terakhirnya.

Dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, 
“Barangsiapa yang menshalatkan jenazah, maka ia mendapatkan pahala satu qirath. Dan barangsiapa yang turut mengantarkan jenazah hingga diletakkan di qubur, maka ia mendapat pahala dua qirath”. (Perawi) berkata : Lalu aku bertanya, “Hai Abu Hurairah, apakah yang dimaksud qirath itu?”. Abu Hurairah menjawab, “Sebesar gunung Uhud”. [HR. Muslim]

*** 

Tak Hanya Sekedar Sakit (Seri 6) 


"Ya Allah, Bang kasian sekali ya ini," seruku sambil memperlihatkan video yang sedang viral tentang penjemputan kakak beradik di sebuah kota, karena positif wabah.

"Gak usah jauh-jauh, Neng. Di rumah sakit sini juga ada. Gak cuman anak-anak, bayi dan balita juga ada." Aku terkesiap mendengarnya. Ya Allah, ternyata kasus seperti ini dekat adanya. 

Lalu mengalir lah cerita Bang Nunu tentang salah seorang keluarga pasien isolasi di RS. 

"Sepulang dari tugas, aku melihat seorang bapak dengan anak seusia bungsu kita. Aku penasaran lalu ku sapa dan kami mengobrol.

Ternyata bapak itu keluarga salah satu pasien isolasi. Anaknya yang berusia 1 tahun sedang diisolasi bersama sang istri. Dan dia bersama si sulung berusia 2,5 tahun." 

Seketika trenyuh menyergap hatiku. Bang Nunu mengatakan mereka sudah sepekan di rumah sakit. Ya, mereka semua, sekeluarga. Kenapa?
Karena praktis sang Bapak tidak dapat bekerja untuk menemani si sulung juga memastikan kondisi anak bungsu dan istrinya. Mereka orang perantauan dari luar kota. 

Dan konsekuensi lainnya adalah mereka terusir dari kontrakan. Maka selama sepekan lebih ayah anak itu pun tidur di rumah sakit. 

"Bapak tidur di mana?" tanya Bang Nunu 

"Ya kadang di teras, kadang di masjid," jawab si Bapak. Bang Nunu nanar menatap si anak. Teringat bungsu kami. Sedih membayangkan anak seusia itu harus kedinginan tidur di luar. 

"Malah kemarin HP saya ilang pas di masjid, Mas. Dicuri orang." 

Lengkap sudah kisah pilunya. Anak istri di isolasi, diusir dari kontrakan, tak punya pekerjaan, dan barang berharga satu-satunya yang terbawa pun hilang dicuri orang. 

"Padahal HP itu biasanya untuk video call-an anak-anak dengan ibunya. Untung kemarin masih bisa pinjam HP keluarga pasien lainnya, jadi masih bisa telponan." 

Ya Allah, luruh sudah butir bening di mataku. Perih sungguh di hatiku. Betapa wabah telah mengubah seluruh kehidupan si Bapak. Bukan hanya perkara si anak sakit, tapi kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan terpisahnya anak dari sang ibu. Tapi dia harus tetap sabar, tegar menghadapi dan menjalaninya, karena dia seorang kepala keluarga, suami dan ayah panutan anak istrinya.

Aku kemudian teringat firman Allah SWT, 

"Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata 'Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un' (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali)." (QS. Al-Baqarah: Ayat 155-156)

***

"Pak, nanti malam tidur di basecamp-nya para relawan saja. Kasian anaknya kedinginan kalau tidur di luar." Pesan Bang Nunu sebelum mereka berpisah. 

Bang Nunu mengambil biskuit dari parsel yang baru saja didapatnya, dan memberikan kepada si anak. Juga menyelipkan selembar uang untuk si Bapak. 

*** 

Ya Allah, berikanlah kekuatan dan kesabaran kepada si Bapak, juga seluruh keluarga pasien isolasi wabah lainnya. Berikanlah kemudahan untuk menjalani kehidupan mereka selanjutnya. Sembuhkanlah anak/pasangan mereka, Ya Allah. 

Lalu bukalah hati-hati kami untuk mampu mengambil ibrah atas semua kejadian ini. Berikanlah kesabaran kepada kami untuk bisa menahan diri dari melakukan hal-hal yang bisa membahayakan diri kami, juga orang lain di sekitar kami. 

Angkatlah wabah ini, Ya Rabb. Ampuni kami, maafkan kami… 


*** 

Panggilan Hati (Seri 7)


"Neng, kamu gak khawatir ya sama Bang Nunu?" Pertanyaan senada sudah beberapa kali aku terima.

"Ya, tentu saja khawatir atuh, Teh! Istri mana yang gak khawatir kalau di saat semua orang diminta menjauhi wabah, eh… dia malah berada dekat dengan korban," jawab saya cepat.

Bahkan setelah puluhan kali menuntaskan pemakaman, saya masih tetap merasakan kekhawatiran itu. Merapalkan sebanyak doa, agar dia bisa pulang dengan selamat, sehat walafiat.

"Kalau khawatir kanapa diijinin ikut sih?" si Teteh masih tetep kekeuh. Saya tahu ada perhatian di balik pertanyaannya.

"Lha, dianya ndak minta persetujuanku kok, Teh." Dia melongo, dan saya pun tergelak.

"Aduh, jangan syok gitu dong, Teh. Makasih banyak ya atas perhatiannya. Bukan berarti komunikasi kami gak sehat, tapi Insya Allah kami sudah saling mengerti.

Ini bukan kali pertama Bang Nunu ikut dalam penanganan bencana. Bahkan sejak sebelum kami menikah, dia sudah bergabung bersama komunitas relawan bencana. Maka saat dia memutuskan untuk ikut bergabung dengan Tim Relawan Covid-19, saya sangat paham, dia sedang memenuhi panggilan hatinya. Tugas saya hanya berdoa sambil terus mengkondisikan diri dan anak-anak, hee…."

Alhamdulillah kami punya semangat yang sama mewujudkan hadist ini, meskipun baru sedikit yang kami mampu.

Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni).
"Ya Allah, aku mah tetep gak kebayang, Neng."

"Jangan dibayangin atuh, Teh. Hehe…. Bismillah, dijalanin aja," tukas saya.

Alhamdulillah saat ini ada beberapa komunitas relawan independen yang bergabung di Tim Relawan Covid RS. Dari berbagai usia, bahkan anak SMA. Dia adalah anak "angkatan Covid" kata Bang Nunu, karena lulus tanpa ujian nasional gara-gara pandemi. Mereka semua secara suka rela bergabung. Mengikuti serangkaian pelatihan dan siap sedia dipanggil setiap saat.

Apakah semua baik-baik saja?

Tentu saja tidak.

Selain ada banyak kisah yang membuat pilu, ada saat di mana khawatir pun merajai hati.

***

"Hari ini ada kejadian," kata Bang Nunu mengawali ceritanya sepulang bertugas.

"Ada apa?" penasaranku.

"Dua relawan terkapar sepulang dari bertugas. Salah satunya aku bantu melepaskan APD saking sudah lemesnya. Dan akhirnya kami bawa ke IGD,"

"Ya Allah!"

"Ternyata dehidrasi dan kekurangan oksigen," lanjutnya.

Saat itu memang sudah memasuki bulan Ramadhan dan waktu pemakamannya siang hari. Bayangkan, saat puasa, di terik matahari siang, memakai APD yang full tertutup, mengangkat peti dan mencangkul tanah. Saat belum puasa saja rasanya "enggap" kata Bang Nunu. Bagaimana saat itu?

"Mereka langsung diinfus. Dan saat dilakukan prosedur screening, ternyata salah satu dari mereka sedang batuk. Lalu cek rontgen, hasilnya mengalami pneumonia di salah satu parunya. Sesuai SOP, dia lalu dimasukkan ke ruang isolasi,"

Luruh hatiku. Tak hanya turut prihatin dengan kondisi relawan itu, tapi seketika khawatir menyergap. Bagaimana jika itu menimpa Bang Nunu?

"Tentu saja kami semua kaget. Tapi tetap saling menguatkan. Malam itu dia harus menunggu dokter paru untuk pemeriksaan detail, apakah pneumonia itu karena Covid atau bukan," lajut Bang Nunu.

"Bagaimana dengan keluarganya?" potongku cepat.

"Sementara belum diberitahu. Anaknya dua orang, yang satu masih bayi."

Mataku memanas. Teringat beberapa waktu sebelumnya aku merasakan hal tersebut. Kekhawatiran, ketakutan, bagaimana kalau Bang Nunu tidak bisa pulang.

"Pikiran seperti itu sempat terlintas di pikiranku," suaraku berat menahan tangis.

"Apa?"

"Saat Abang tak segera membaca chat-ku. Hingga malam tak berkabar juga, padahal Abang pergi sejak pagi. Katanya hanya akan bertugas sekali saja tapi kok belum pulang juga. Pikiran buruk itu datang di sela pertanyaan anak-anak, kapan Ayah pulang hingga mereka semua terlelap.

Bagaimana kalau ternyata Abang tertular? Lalu harus masuk ruang isolasi. Jangan sampai tadi pagi adalah pertemuan kita yang terakhir. Ya Allah, aku takut sekali saat itu.

Bapak datang menanyakan kenapa Abang belum pulang. Dan pertanyaan itu justru membuatku makin khawatir.

Semoga saja teman Abang tidak tertular. Aku bisa membayangkan bagaimana perasaan istri dan anak-anaknya."

"Aamiin, kita masih menunggu kabar dari dokter parunya."


***


"Si Nunu, pulang pagi tadi?" tanya Emak saat aku menjemur pakaian.

"Iya, Mak. Jam setengah 3 tadi jelang sahur."

"Lha kapan berangkatnya?"

"Sore, Mak. Abis ashar. Nganter jenazahnya ke luar kota. Harus menunggu keluarga pasien yang belum bisa dihubungi, jadi proses pemakamannya sampai larut malam."

Bang Nunu Kisah Seorang Relawan Covid-19

***

Syukur tak terhingga saat ini, kami, seluruh tim relawan dan keluarga masih sehat. Para relawan masih bisa pulang dan berkumpul bersama keluarga. Meski sempat juga ada yang hampir dilarang pulang oleh Pak RT, hihi…. Masih jauh dengan kontribusi dan pengorbanan para tim medis beserta keluarganya.

Jadi, mari jaga diri dan keluarga kita. Bantu mereka agar lebih ringan tugasnya. Bukan karena kasian, yakinlah mereka akan sepenuh hati melaksanakan tugasnya, karena itu panggilan jiwanya, dedikasi hidupnya, dan wujud kebermanfaatan diri mereka.

Tapi, pastinya kita tidak ingin berjumpa dengan mereka di ruang isolasi, kan?
Terlebih berada di posisi yang Bang Nunu dan teman-temannya panggul.
Jangan sampai, Ya Allah.

***

Renungan Hidup 

Pengalaman kita saat pandemi Covid-19, dua tahun lalu, menjadi sebuah pelajaran dan hikmah penting dalam hidup kita. Membaca kembali kisah Bang Nunu di atas seolah memutar kembali memori tentang masa-masa kematian terasa sangat dekat dan tingginya kepasrahan kita kepada Sang Pemilik Hidup.

Allah menunjukkan bahwa dengan sangat mudahnya Dia bisa menghentikan semua kehidupan dunia dalam sekejap. Allah membuktikan bahwa kematian bisa hadir kapan saja, di mana saja, pada siapa saja. Kemahakuasaan Allah lah yang mengaturnya. Dan hanya kepada Allah pula kita memohon pertolongan dan perlindungan. 

Apalagi bagi Mommies atau keluarganya yang sempat merasakan sendiri sakit dengan gejala/vonis Covid-19. Tentu tidak akan mudah melupakan bagaimana perasaan kita saat itu. 

Semoga semua ini bisa menjadi pengingat dan nasihat bagi diri, bahwa kehidupan dunia hanya sementara dan kematianlah yang pasti nyata. Semoga Allah mengkaruniakan husnul khatimah bagi kita semua. Aamiin

Apakah masih ada seri lain dari Bang Nunu? Tentu, dong! 
Tunggu seri berikutnya ya... 

2 comments

Terima kasih sudah mampir. Semoga artikel ini bermanfaat. Silakan dibaca juga postingan lainnya.
Dan Mohon tidak meninggalkan link hidup. Jika terdapat link hidup, mohon maaf komentar akan dihapus.
  1. Ini bukan cerpen bukan pula drama...kisah ini benar-benar terjadi. Hari ini memang kita sudah sering lupa mbak. Tulisan seperti inilah yang jadi pengingat masa-masa mencekam itu. Waktu nggak bisa mudik hari raya, ibuku beberapa kali chat kirim foto temannya yang berpulang karena covid, saudara juga ada yang meninggal, tetangga. Kami shalat Ied di ruang tamu. Ya Allah hampir terlupakan memang

    ReplyDelete
  2. MasyaAllah, menanti cerita ini sampai sekian hari ya mb. Keinget masa2 itu kelam juga. Alhamdulillah sudah berlalu, bisa buat pembelajaran ke depan supaya nggak nyepelein kesehatan.

    ReplyDelete